Traveling-“Tooootttt…
toottt… toooottt!!” Tiga kali bunyi klakson panjang dan pendek sebuah
truk Fuso, yang datang dari arah Sibolga menuju Tarutung, terdengar
membahana di mulut dua terowongan pendek, terkenal dengan sebutan Batu Lubang, Jumat (17/10).
Setelah
tidak ada jawaban balasan dari mulut terowongan dari arah berlawanan,
sang sopir pelan-pelan melajukan truknya masuk ke terowongan pertama
sepanjang 10 meter, sambil sesekali membunyikan klaksonnya dengan kuat.
Klakson terus menjerit sampai truk melewati terowongan kedua yang
memiliki panjang sekitar 8 meter. Kendaraan pribadi yang melaju di
belakang truk, mengikut sambil juga sesekali membunyikan klaksonnya.
Pemandangan
itu sedikit mengundang penasaran saya. Apakah membunyikan klakson itu
murni karena menghindari ‘ciuman’ kendaraan di tengah terowongan lembab
dialiri air gunung itu, atau ada mistis tertentu?
‘Tanda Permisi’
Beberapa
cerita dari mulut ke mulut yang saya kumpulkan, tradisi membunyikan
klakson di Batu Lubang memang wajib hukumnya. “Di samping sebagai tanda
bagi arus kendaraan dari arah berlawanan, juga sebagai tanda ‘permisi
lewat’ pada ‘penghuni’ Batu Lubang!” kata P.Hutagalung, seorang sopir
bus, warga Tapteng.
Ia menuturkan sendiri pengalamannya. Bertahun lalu, pernah dirinya menyopiri bus dari Medan
menuju Sibolga. Sebenarnya sesuai kebiasaan, ia selalu membunyikan
klakson. Namun saat itu ia lupa. Waktu itu hari sudah subuh, sekitar
pukul 5 dinihari.
Saat
melintas di tengah terowongan yang memiliki panjang 10 meter, bus yang
disopirinya mendadak mati mesin. Jantungnya kontan berdegub kencang.
Distater, mesin tetap tak mau hidup. “Terus terang, saat itu saya sempat
keringat dingin,” tuturnya. Apalagi suasana gelap gulita, bunyi air
mengalir mendesau-desau di sekeliling lubang. Kemudian dia ingat kalau
sebelum masuk terowongan, ia lupa membunyikan klakson.
“Ingat
cerita teman-teman sopir, saya lalu merokok ‘sepukul’. Setelah itu
menghidupkan sebatang rokok lain, turun dari bus, meletakkan rokok di
sisi terowongan sambil bilang: ‘Sattabi da Oppung…’ Setelah
itu, saya kembali ke tempat duduk sopir, mencoba menyalakan mesin.
Ternyata hidup. Saya pun segera melaju menuju Sibolga,” kisahnya.
Apakah
rokok yang diletakkannya di terowongan yang ‘memfasilitasi’ mesinnya
dapat menyala kembali, Hutagalung tak berani berkomentar. “Wallahualam…!” senyumnya.
Kisah
senada juga disampaikan T Nasution, sopir bus L-300 trayek
Sibolga-Medan. Ia menceritakan, mesin mati tiba-tiba di tengah lubang
juga pernah dialaminya beberapa tahun lalu. “Ingat cerita-cerita sesama
sopir, saya ambil kotak rokok saya yang masih berisi setengah, saya
letakkan di sisi terowongan. Setelah itu, saya hidupkan mesin, eh bisa
menyala. Barulah saya melanjutkan perjalanan. Memang saat itu, saya juga
lupa membunyikan klakson,” kisahnya.
Kedua
kisah sopir itu terjadi beberapa tahun lalu, saat kawasan Batu Lubang
masih bernuansa angker. Diakui, saat itu Batu Lubang masih gelap gulita
khususnya malam hari. Maklum, belum dipasang lampu sorot seperti saat
ini.
Cerita-cerita
bernada seram senada, cukup banyak beredar di kalangan masyarakat
Sibolga-Tapteng, khususnya di kalangan sopir. Tapi tak semua percaya. Ada
juga yang berkata, kejadian mati mesin di tengah Batu Lubang hanya
kebetulan semata. “Ahh…, tak ada itu. Mungkin sopirnya saja yang tak
mencek kondisi mesinnya sebelum melakukan perjalanan,” kata A Nst,
seorang warga Tapteng yang cukup kuat dalam agama.
Benar
tidaknya cerita-cerita itu, yang jelas belakangan ini, cerita-cerita
serupa sudah jarang terdengar. Maklum, terowongan yang menjadi salahsatu
bukti peninggalan sejarah perjuangan rakyat Tapanuli ini, sudah lebih
tertata. Di tengah terowongan, beberapa lampu sorot sudah dipasang.
Terowongan juga terus diperlebar dengan cara pelan-pelan mengikis
batu-batu cadas yang membentengi terowongan. Di mulut terowongan dari
arah Sibolga, ada gazebo dibangun untuk tempat memandang-mandang Kota
Sibolga dari ketinggian. Beberapa pernik yang mencerminkan sentuhan
modernisasi juga dibangun di sekitar Batu Lubang, yang berhasil
mengurangi kesan seram.
Suasana
di lokasi Batu Lubang ini sendiri sangat sejuk. Desau air menjadi ciri
khas. Di lokasi Batu Lubang, memang terdapat tiga air terjun yang
mengalir menuju sungai Kota Sibolga. Air terjun pertama dapat dijumpai
saat akan tiba di lokasi Batu Lubang. Dua lainnya berada tepat di atas
Batu Lubang. Terowongan pun lembab dengan aliran air.
Pemandangan
alam di kiri dan kanan jalan sekitar terowongan masih berupa hutan,
berikut lembah dan ngarai yang terjal. Kedalaman jurang di sekitar
terowongan itu diperkirakan mencapai ratusan meter. Konon, sudah puluhan
kendaraan yang terjun ke jurang tersebut.
Hindari ‘Ciuman’
Lepas
dari cerita berbau mistis di Batu Lubang, menurut Robert Tarihoran
(38), warga Desa Simaninggir yang dipercaya Dinas Pekerjaan Umum Sumut
‘menjaga’ Batu Lubang, tradisi klakson lebih untuk mencegah terjadinya
‘ciuman’ kendaraan di tengah lubang, yang dapat mengakibatkan macetnya
arus lalu lintas.
“Klakson
menjadi isyarat bagi kendaraan dari arah berlawanan, bahwa saat itu ada
kendaraan yang akan melintas dari terowongan. Soalnya, jalan masuk ke
Batu Lubang tepat berada di tikungan yang cukup sempit. Hanya dapat
dilalui satu kendaraan roda empat saja. Karena itu, arus kendaraan harus
satu arah saja yang bisa lewat dalam satu waktu,” tuturnya.
Ia
menjelaskan, jika pengemudi tidak membunyikan klakson, dikhawatirkan
terjadi pertemuan kendaraan di tengah lubang. Hal itu jelas dapat
menimbulkan kecelakaan, atau mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kalau
terjadi ‘pertemuan’, maka harus ada yang mengalah, dengan cara mundur
kembali. Ini tentu menyebabkan arus lalu lintas semakin macet, khususnya
jika kendaraan terus berdatangan dari belakang.
Buah Kerja Rodi
Hasil
penelusuran METRO dari berbagai sumber, dua Batu Lubang yang terletak
di Desa Simaninggir ini, merupakan bukti peninggalan sejarah perjuangan
rakyat Tapanuli. Dikisahkan, Batu Lubang dulunya dibuat dan dikerjakan
oleh bangsa Indonesia sendiri. Mereka adalah para pejuang kemerdekaan RI yang ditawan oleh penjajah Belanda dan Jepang.
Sekitar
tahun 1930, para penjajah Belanda dan Jepang menghadapi kesulitan
melewati jalan ini, karena dihempang batu cadas dan hutan belantara.
Buntutnya, kaum penjajah memaksa para pejuang Indonesia
ini menjadi pekerja paksa (rodi), untuk memahat batu-batu cadas ini
hingga jalan Tarutung-Sibolga (Tapanuli Tengah) bisa tembus.
Pada
masa penjajahan Jepang, pembuatan Batu Lubang ini terus berlanjut
hingga selesai dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Konon, pada
waktu pembuatan Batu Lubang, banyak para pejuang yang menjadi korban dan
tidak sedikit pejuang yang mati. Yang mati, mayatnya langsung dibuang
ke jurang.
Selama
bertahun-tahun dibiarkan tetap sempit, sekitar tahun 1991, akhirnya
pemerintah akhirnya memutuskan untuk memperlebar terowongan. Tapi kali
ini tak lagi dengan memahat, melainkan pakai dinamit.
Terpanggil Jadi Penjaga
Dulu,
Batu Lubang terkesan seram, karena tidak ada lampu maupun penjaga.
Namun saat ini, kesan itu sudah berkurang jauh. Sudah 15 tahun lamanya,
Batu Lubang diawasi seorang penjaga, yang digaji Dinas Pekerjaan Umum
Rp500 ribu per bulan.
“Dulu
sejak tahun 1993, Batu Lubang ini dijaga dan diawasi mertua saya, Serep
Simbolon (almarhum, red). Namun sejak mertua saya meninggal awal 2008,
saya yang jaga,” kata Robert Tarihoran.
Ditanya
kisah terpanggilnya mertua kemudian dirinya menjadi penjaga Batu
Lubang, Robert menjelaskan, hal itu dimulai tahun 1991, saat ada
pengeboman untuk pelebaran terowongan di di Batu Lubang.
“Tak
lama setelah pengeboman, suatu malam saat tidur, mertua saya bermimpi.
Ia bermimpi didatangi seseorang, yang mengatakan agar mertua saya
membersihkan Batu Lubang. ‘Kau beserta anakmu akan kuberikan alat
kompresor untuk membersihkan debu yang ada di Batu Lubang’ Itulah pesan
yang diterima mertuaku dalam mimpinya,” kata ayah lima anak ini.
Beberapa
hari setelah mimpi itu, mertuanya didatangi Pegawai Dinas PU, dan
ditawari pekerjaan untuk merawat dan membersihkan jalan sepanjang Batu
Lubang. Pekerjaan sebagai penjaga dilakoni mertuanya sejak tahun 1993
sampai tahun 2008, dengan gaji terakhir Rp500 ribu per bulan.
Sebelum
mertuanya meninggal pada Pebruari 2008, pekerjaan sebagai penjaga
terowongan diwariskannya kepada sang menantu, yaitu Robert sendiri. Gaji
tetap sama, Rp500 ribu per bulan.
Cukupkah
untuk menghidupi dan menyekolahkan kelima anaknya? “Yah, pesan mertua
hanya satu, selama menjaga Batu Lubang, saya harus selalu memiliki niat
baik. Dengan demikian, saya akan diberikan rejeki. Pesan itu saya
pegang, dan sampai sekarang kelima anak saya masih sekolah,” katanya.
Rezeki
dimaksud datang dari para sopir yang lewat Batu Lubang, yang kerap
memberikan sekedar uang rokok kepadanya. “Rezeki itu khususnya sering
datang dari kendaraan prbadi,” ungkapnya mensyukuri berkat yang
diterimanya.
Objek Wisata
Bagi
orang yang belum pernah melewati Batu Lubang, mungkin ingin tahu
rasanya melewati Batu Lubang. Jujur, kesannya cukup mencekam. Untungnya,
panjang terowongan hanya 10 meter ditambah 8 meter. Di terowongan 10
meter itu yang kesannya agak dramatis, karena terowongan menikung,
dengan air menetes di sana
sini. Jalan di terowongan itu sendiri sama sekali tidak mulus alias
rusak berat. Maklum, tetesan air terus menerus merusak jalan.
Namun demikian, setelah Batu Lubang terang benderang dan tidak seram lagi, belakangan ini beberapa pengunjung sudah dari Kota Sibolga ada yang sengaja datang ke tempat ini untuk menikmati pemandangan dan sejuknya udara. Belum lagi para pelintas yang memilih istirahat sejenak menikmati pemnadangan, di gazebo di mulut terowongan.
“Mungkin
kalau lebih ditata dengan membangun beberapa fasilitas, Batu Lubang
akan menjadi lokasi wisata alam/sejarah yang lebih layak jual,” kata
Robert.
0 komentar:
Posting Komentar